Senin, 23 Desember 2013

kegilaan SOEHARTO

Mengapa Bung Karno Tak Mau Memukul Soeharto


soeharto6Note: Foto pinjam dari TIME
TINDAKAN Soeharto menyelewengkan Surat Perintah 11 Maret 1966 sangat menyakiti perasaan Bung Karno. Sejumlah petinggi militer yang masih setia pada Sukarno ketika itu pun merasa geram. Mereka meminta agar Sukarno bertindak tegas dengan memukul Soeharto dan pasukannya. Tetapi Sukarno menolak.
Sukarno tak mau terjadi huru-hara, apalagi sampai melibatkan tentara. Perang saudara, menurut Sukarno, adalah hal yang ditunggu-tunggu pihak asing—kaum kolonial yang mengincar Indonesia–sejak lama. Begitu perang saudara meletus, pihak asing, terutama Amerika Serikat dan Inggris akan mengirimkan pasukan mereka ke Indonesia dengan alasan menyelamatkan fasilitas negara mereka, mulai dari para diplomat kedutaanbesar sampai perusahaan-perusahaan asing milik mereka.
Kesaksian mengenai keengganan Sukarno menggunakan cara-cara kekerasan dalam menghadapi manuver Soeharto disampaikan salah seorang menteri Kabinet Dwikora, Muhammad Achadi. Saya bertemu Achadi, mantan menteri transmigrasi dan rektor Universitas Bung Karno itu dua pekan lalu di Jalan Taman Amir Hamzah, Jakarta Pusat. Achadi bercerita dengan lancar kepada saya dan beberapa teman. Air putih dan pisang rebus menemani pembicaraan kami sore itu.
Komandan Korps Komando (KKO) Letjen Hartono termasuk salah seorang petinggi militer yang menyatakan siap menunggu perintah pukul dari Sukarno. KKO sejak lama memang dikenal sebagai barisan pendukung utama Soekarno. Kalimat Hartono: “hitam kata Bung Karno, hitam kata KKo” yang populer di masa-masa itu masih sering terdengar hingga kini.
Suatu hari di pertengahan Maret 1966, Hartono yang ketika itu menjabat sebagai Menteri/Wakil Panglima Angkatan Laut itu datang ke Istana Merdeka menemui Bung Karno. Ketika itu Achadi sedang memberikan laporan pada Sukarno tentang penahanan beberapa menteri yang dilakukan oleh pasukan yang loyal pada Soeharto.
Mendengar laporan itu, menurut Achadi, Bung Karno berkata (kira-kira), “Kemarin sore Harto datang ke sini. Dia minta izin melakukan pengawalan kepada para menteri yang menurut informasi akan didemo oleh mahasiswa.”
“Tetapi itu bukan pengawalan,” kata Achadi. Untuk membuktikan laporannya, Achadi memerintahkan ajudannya menghubungi menteri penerangan Achmadi. Seperti Achadi, Achmadi juga duduk di Tim Epilog yang bertugas menghentikan ekses buruk pascapembunuhan enam jenderal dan perwira muda Angkatan Darat dinihari 1 Oktober 1965. Soeharto juga berada di dalam tim itu.
Tetapi setelah beberapa kali dicoba, Achmadi tidak dapat dihubungi. Tidak jelas dimana keberadaannya.
Saat itulah Hartono minta izin untuk menghadapi Soeharto dan pasukannya. Tetapi Bung Karno menggelengkan kepala, melarang.
Padahal masih kata Achadi, selain KKO, Panglima Kodam Jaya Amir Machmud, Panglima Kodam Siliwangi Ibrahim Adji, dan beberapa panglima kodam lainnya juga bersedia menghadapi Soeharto.
“Bung Karno tetap menggelengkan kepala. Dia sama sekali tidak mau terjadi pertumpahan darah, dan perang saudara.”
Kalau begitu apa yang harus kami lakukan, tanya Achadi dan Hartono.
Bung Karno memerintahkan Hartono untuk menghalang-halangi upaya Soeharto agar jangan sampai berkembang lebih jauh. “Hanya itu tugasnya, Hartono diminta menjabarkan sendiri. Yang jelas jangan sampai ada perang saudara,” kata Achadi.
Adapun Achadi yang tak bisa kembali ke rumahnya di kawasan Pancoran yang sedang diduduki pasukan Soeharto diperintahkan Bung Karno bermalam di guest house Istana. Bung Karno juga mengatakan akan menggelar rapat kabinet keesokan harinya. Dalam rapat yang juga akan dihadiri Soeharto itu, Achadi diminta untuk menyampaikan laporan tentang penahanan beberapa menteri.
“Kamu berani bicara di depan Soeharto,” tanya Bung Karno pada Achadi.
“Siap,” jawab Achadi.

Sepuluh kontroversi Lubang Buaya

http://nasional.sindonews.com/read/2012/10/01/18/676015/sepuluh-kontroversi-lubang-buaya
Koran SINDOSenin, 1 Oktober 2012 − 15:21 WIB
Asvi Warman Adam Sejarawan LIPI
Foto: dok. Istimewa
Foto: dok. Istimewa

Entah di tempat itu dulunya terdapat kubangan hewan, daerah yang dinamakan Lubang Buaya itu secara berkala menimbulkan kontroversi sejarah sejak setengah abad lalu yang tidak pernah dijernihkan.
Di situ dibangun Monumen Pancasila Sakti, dan setiap 1 Oktober sejak 1966 diperingati Hari Kesaktian Pancasila. Acara itu diadakan untuk mengenang enam jenderal, dan seorang perwira yang meninggal dan dibuang dalam sebuah sumur di kebun karet yang ada di sana.
Peringatan itu tidak ada hubungannya dengan Pancasila sebagai dasar, dan falsafah negara Indonesia. Bila makna kata ‘sakti’ terkait dengan kekebalan, dan kehebatan fisik seorang pendekar, tidak tepat bila Pancasila disebut sakti.
Kita menjunjung dan mengamalkan Pancasila, tetapi bukan mengeramatkannya. Jadi lebih masuk akal misalnya Hari Kesaktian Pancasila itu dinamakan Hari Berkabung Nasional.
Kontroversi kedua, menyangkut penyamaan Lubang Buaya dengan Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusumah. Kuburan para jenderal itu berada di luar areal Pangkalan AURI.
Oleh sebab itu, Persatuan Purnawirawan Angkatan Udara Republik Indonesia (PP AURI) berang ketika Halim disebut sebagai ‘sarang G30S’ sebagaimana antara lain tergambar dalam film Pengkhianatan G30S/PKI yang wajib diputar semasa Orde Baru setiap malam menjelang 1 Oktober.
Film dengan biaya sangat besar tersebut (waktu itu) menjadi kontroversi ketiga, sebagai film yang paling banyak ditonton ratusan juta rakyat Indonesia.
Sejak 1998 film itu tidak lagi wajib tayang. Marsekal Saleh Basarah mewakili PP AURI mengaku bahwa beliau menelepon Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Juwono Sudarsono, serta Menteri Penerangan Junus Yosfiah meminta agar film itu tidak disiarkan lagi.
Kontroversi keempat tentang diorama di Lubang Buaya menyangkut perempuan dari organisasi Gerwani yang melakukan pesta seks bebas, dan menarikan tari seksual yang dikenalkan sebagai ‘tari harum bunga’.
Peristiwa itu tidak pernah terjadi. Juga, ini kontroversi kelima, tidak ada kemaluan para jenderal yang disilet serta mata mereka yang dicungkil di Lubang Buaya seperti diberitakan pers militer selepas 1 Oktober 1965.
Visum et repertum yang dibuat dokter forensik membuktikan bahwa semuanya itu tidak benar. Kontroversi keenam adalah pertentangan keterangan yang diberikan petugas polisi Sukitman dengan ajudan Presiden Maulwi Saelan mengenai proses pencarian, dan penemuan jenazah di Lubang Buaya.
Hal berikutnya yang menjadi kontroversial adalah penyebutan ‘pahlawan revolusi’ terhadap enam jenderal, seorang perwira muda, dan seorang polisi di Jakarta, serta dua perwira menengah di Yogyakarta.
Saat itu tidak terjadi revolusi kecuali upaya percobaan kudeta yang gagal. Sepuluh tokoh militer/polisi itu tidaklah melakukan revolusi, bahkan mereka gugur tidak dalam peperangan. Jadi lebih tepat mereka diangkat sebagai ‘pahlawan nasional’ bukan ‘pahlawan revolusi’.
Pada era Orde Baru setiap 30 September dinaikkan bendera Merah Putih setengah tiang, dan tanggal 1 Oktober satu tiang penuh. Maksudnya, penaikan bendera setengah tiang sebagai berkabung atas gugurnya para jenderal, dan satu tiang penuh untuk Hari Kesaktian Pancasila.
Dewasa ini, hampir tidak ada yang menaikkan bendera kecuali pada instansi militer. Ini menjadi kontroversi kedelapan, keenam jenderal itu meninggal dini hari 1 Oktober, oleh sebab itu bendera setengah tiang lebih tepat dikibarkan 1 Oktober, bukan 30 September.
Kontroversi kesembilan, menyangkut pemakaian istilah ‘malam jahanam’ untuk malam ketika terjadi pembunuhan terhadap para jenderal tersebut, seperti yang digunakan Prof Taufik Abdullah. Istilah yang berasal dari drama karya Motinggo Busye itu memang puitis sekaligus sadis.
Tapi persoalannya, ‘malam jahanam’ itu tidak hanya semalam, yakni pada malam tanggal 30 September 1965 saja, tetapi juga pada ’1.001 malam’ berikutnya, ketika terjadi pembantaian terhadap sekitar 500.000 orang pasca-G30S.
Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, sebagai judul sebuah buku, istilah itu diganti dengan ‘malam bencana’. Kontroversi ke-10 mengenai apakah presiden, dan seluruh ketua lembaga tinggi negara wajib hadir dalam upacara peringatan yang diadakan di Lubang Buaya setiap 1 Oktober.
Pada 17 September 1966, Jenderal Soeharto selaku panglima Angkatan Darat mengeluarkan surat keputusan 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila yang harus diperingati seluruh slagorde Angkatan Darat.
Pada 24 September 1966 Panglima Angkatan Kepolisian mengusulkan peringatan itu oleh seluruh Angkatan Bersenjata. Pada 29 September 1966 Jenderal Soeharto selaku menteri utama bidang pertahanan keamanan memutuskan peringatan itu oleh seluruh slagorde Angkatan Bersenjata.
Peringatan itu tidak wajib di Lubang Buaya, bisa juga di Istana Negara atau lebih tepat lagi di Taman Pahlawan Kalibata, karena delapan jenazah pahlawan revolusi itu disemayamkan di sana. (*)


0 komentar:

Posting Komentar